Seorang muslim terikat dengan hukum Syariah, dari hal yang kecil hingga besar. Semua yang kita kerjakan di dunia memiliki konsekuensi di akhirat. Oleh karenanya, seorang muslim perlu memiliki dasar hukum dalam setiap perbuatannya. Umat Islam memiliki kekayaan keilmuwan yang luarbiasa, sehingga perbedaan dalam perkaraan hukum Syariah dibenarkan selama memiliki dasar yang kuat dan tetap dalam koridor Al-Qur’an dan As-Sunnah. Perbedaan di wilayah cabang (furu’) diperkenankan berdasarkan ijma sahabat. Perbedaan yang tidak diperbolehkan adalah perbedaan di wilayah pokok (ushul) yang dapat menentukan status kemuslimannya.
Melalui halaman ini, kami akan menjelaskan satu per satu pendapat yang Kredit Umat adopsi dalam wilayah teknis dalam menjalankan mekanisme perusahaan.
4. Membedakan harga cash dan harga kredit
-
Dalil kebolehan adanya tambahan harga kredit dengan harga tunai, adalah riwayat ad-Daruquthni dari Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash sebagai berikut :
ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺃﻣﺮﻩ ﺃﻥ ﻳﺠﻬﺰ ﺟﻴﺸﺎ ﻗﺎﻝ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﻭﻟﻴﺲ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻇﻬﺮ ﻗﺎﻝ ﻓﺄﻣﺮﻩ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺃﻥ ﻳﺒﺘﺎﻉ ﻇﻬﺮﺍ ﺇﻟﻰ ﺧﺮﻭﺝ ﺍﻟﻤﺼﺪﻕ ﻓﺎﺑﺘﺎﻉ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﺍﻟﺒﻌﻴﺮ ﺑﺎﻟﺒﻌﻴﺮﻳﻦ ﻭﺑﺎﻷﺑﻌﺮﺓ ﺇﻟﻰ ﺧﺮﻭﺝ ﺍﻟﻤﺼﺪﻕ ﺑﺄﻣﺮ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ . ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺣﻤﺪ ﻭﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﻭﺍﻟﺪﺍﺭﻗﻄﻨﻲ ﻭﺣﺴﻨﻪ ﺍﻷﻟﺒﺎﻧﻲ
“Rasulullah SAW memerintahkan Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki unta tunggangan, maka Nabi SAW memerintahkanku untuk membeli hewan tunggangan dengan pembayaran ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash pun seperintah Rasulullah SAW membeli satu ekor unta dengan harga dua ekor unta dan beberapa ekor unta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat.”_ (HR Ad Daruquthni, Ahmad, Abu Dawud, dan sanadnya dihasankan oleh Al Albani).
Syu’aib al Arnauth menilai hadits ini hasan dengan seluruh sanadnya (lihat Masyru’ al Qonun al Buyu’ karya Syaikh Ziyad Ghazal yang terjemahannya diterbitkan oleh Penerbit Al Azhar Press dengan judul Buku Pintar Bisnis Syar’ie)
Syaikh Ziyad Ghazal juga menjelaskan, Wajh ad-dalalah (muatan makna) dalam hadits tersebut adalah bahwa Nabi SAW telah menambah harga barang tersebut karena faktor tenggat waktu. Ini tampak pada keberadaan hadits tersebut yang menyatakan tentang jual beli. Ucapan ‘Abdullah bin ‘Amru, “Nabi SAW pun memerintahkannya untuk membeli hewan tunggangan sampai (tenggat waktu) keluarnya orang yang membayar zakat.
Maka ‘Abdullah membeli satu ekor unta (kontan) dengan kompensasi dua ekor unta (kredit saat unta zakat datang). Tampak dalam jual beli tersebut adanya tambahan harga karena faktor tenggat waktu. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kebolehan menambah harga karena faktor tenggat waktu pembayaran.
5. Uang Muka / Down Payment (DP)
-
Jumhur fuqaha seperti ulama mazhab yang empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, Hanabilah) membolehkan jual beli kredit, meski penjual menjual barang dengan harga kredit yang lebih mahal daripada harga kontan. Inilah pendapat yang kuat (rajih). (Wahbah Az-Zuhaili,Al-Mu’amalah Al-Maliyah Al-Muashirah, hal. 316, Asy-Syaukani, Nailul Authar, 8/199; An-Nabhani,Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 2/307).
Dalil kebolehannya adalah keumuman dalil-dalil yang telah membolehkan jual beli, misalnya QS Al-Baqarah : 275 (artinya),”Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Juga berdasar sabda Nabi SAW,”Sesungguhnya jual beli itu adalah atas dasar saling ridha.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah). Kata “jual beli” ini bersifat umum, mencakup jual beli kredit. Diriwayatkan bahwa Thawus, Al-Hakam, dan Hammad berkata bahwa tidaklah mengapa kalau penjual berkata kepada pembeli,’Aku jual kontan kepadamu dengan harga sekian, dan aku jual kredit kepadamu dengan harga sekian,’ lalu pembeli membeli dengan salah satu dari dua harga itu. (Hisyam Barghasy, Hukum Jual Beli Secara Kredit (terj), hal. 75).
Adapun mengenai uang muka (DP), hukumnya boleh. Karena ada riwayat bahwa Umar bin Khaththab pernah membeli rumah dari Shofwan bin Umayyah dengan harga 4000 dirham, dengan ketentuan jika Umar rela, maka jual beli dilaksanakan dengan harga tersebut. Jika Umar tidak rela (tidak jadi beli), Shofwan berhak mendapat 400 dirham (10 % dari harga). (Yusuf As-Sabatin, Al-Buyu’ Al-Qadimah wal Mu’ashirah, hal. 84).
6. Seputar majelis Online
-
Di dalam hukum Islam Jual beli merupakan sesuatu yang diperbolehkan, sebagaimana firman Allah dalam surat-Al-baqarah ayat 275 yaitu:
وﺃﺤﻝﷲﺍﻟﺑﯾﻊﻮﺤﺮﻢﺍﻟﺮﺑﻭ۱. . .(ﺍﻟﺑﻗﺮﺓ : ٢٧٥)…
Artinya: ….“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…..”
(Al-Baqarah : 275). [1]
Berbisnis merupakan aktivitas yang sangat di anjurkan dalam ajaran Islam. Bahkan, Rasulullah SAW sendiri pun telah menyatakan bahwa 9 dari 10 pintu rezeki adalah melalui pintu berdagang (Al-Hadits).
ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺒﺎﻠﺘﺟﺎﺮﺓ ﻔﺎﻦ ﻔﻴﻬﺎﺘﺴﻌﺔ ﻮﻋﺷﺮﺓ ﻤﻦ ١ﻠﺮﺰﻘﺔ ﴿ﺮﻭﺍﻩ ﺇﺑﺮ١ﻫﻴﻡ ﺍﻠﺤﺮﺒﻰ﴾
Artinya:” Hendaklah kalian berdagang karena berdagang merupakan Sembilan dari sepuluh pintu rezeki”.( H.R Ibrahim Al-Harbi)[2]
Jual beli melalui via internet yang sebenarnya juga termasuk jual beli via telepon, sms dan alat telekomunikasi lainya, maka mareka yang terpenting adalah ada barang yang diperjual belikan, halal dan jelas oleh miliknya. Banyak ulama kontemporer yang berpendapat bahwa transaksi dengan piranti-piranti modern adalah sah dengan syarat ada kejelasan dalam transaksi tersebut. Di antara mereka adalah Syeikh Muhammad Bakhit al Muthi’i, Mushthofa az Zarqa’, Wahbah Zuhaili dan Abdullah bin Mani’. Alasan beliau-beliau adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan pendapat banyak ulama di masa silam yang menyatakan sahnya transaksi via surat menyurat dan jika ijab (penyataan pihak pertama) adalah sah setelah sampainya surat ke tangan pihak kedua. Demikian pula mengingat sahnya transaksi dengan cara berteriak.
2. Yang dimaksud dengan disyaratkannya ‘kesatuan majelis transaksi’ adalah adanya suatu waktu yang pada saat itu dua orang yang mengadakan transaksi sibuk dengan masalah transaksi. Bukanlah yang dimaksudkan adalah adanya dua orang yang bertransaksi dalam satu tempat.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka majelis akad dalam pembicaraan via internet adalah waktu komunikasi yang digunakan untuk membicarakan transaksi. Jika transaksi dengan tulisan maka majelis transaksi adalah sampainya surat atau tulisan dari pihak pertama kepada pihak kedua. Jika qobul tertunda dengan pengertian ketika surat sampai belum ada qobul dari pihak kedua maka transaksi tidak sah.
Syeikh Muhammad Bakhit al Muthi’i ditanya tentang hukum mengadakan transaksi dengan telegram. Jawaban beliau, “telegram itu seperti hukum surat menyurat. Cuma telegram itu lebih cepat. Akan tetapi mungkin saja terjadi kekeliruan”
Berdasarkan pendapat di atas maka dapat dipahami, ada keharusan untuk klarifikasi dengan sarana-sarana yang ada pada saat ini semisal telepon, via internet atau yang lainnya, semisal dengan telegram adalah faks. Untuk sarana-sarana yang lain maka boleh jadi sama dengan telepon dan telegram dalam kecepatan dan kejelasan komunikasi atau lebih baik lagi. Jika sama maka hukumnya juga sama. Jika lebih baik maka tentu lebih layak untuk dibolehkan.
Majma’ Fiqhi Islami di Muktamarnya yang keenam di Jeddah juga menetapkan bolehnya mengadakan transaksi dengan alat-alat komunikasi modern. Transaksi ini dinilai sebagaimana transaksi dua orang yang berada dalam satu tempat asalkan syarat-syaratnya terpenuhi. Akan tetapi tidak diperbolehkan untuk menggunakan sarana-sarana ini itu transaksi penukaran mata uang karena dalam sharf disyaratkan serah terima secara langsung.
Demikian pula transaksi salam karena dalam transaksi salam modal harus segera diserahkan begitu setelah transaksi dilaksanakan. Namun menurut Wahbah Zuhaili, jika terdapat serah terima mata uang dalam transaksi sharf dan modal dalam transaksi salam bisa diserahkan denga menggunakan sarana-sarana komunikasi modern tersebut maka transaksi sah dan hal ini adalah suatu hal yang memungkinkan untuk beberapa model transaksi yang baru.
Syarat yang ditetapkam Majma Fiqhi adalah sebagai berikut:
1. Adanya kejelasan tentang siapa pihak-pihak yang mengadakan transaksi supaya tidak ada salah sangka, kerancuan dan pemalsuan dari salah satu pihak atau dari pihak ketiga.
2. Bisa dipastikan bahwa alat-alat yang digunakan memang sedang dipakai oleh orang dimaksudkan. Sehingga semua perkataan dan pernyataan memang berasal dari orang yang diinginkan.
3. Pihak yang mengeluarkan ijab (pihak pertama, penjual atau semisalnya) tidak membatalkan transaksi sebelum sampainya qobul dari pihak kedua. Ketentuan ini berlaku untuk alat-alat yang menuntut adanya jeda untuk sampainya qobul.
4. Transaksi dengan alat-alat ini tidak menyebabkan tertundanya penyerahan salah satu dari dua mata uang yang ditukarkan karena dalam transaksi sharf/tukar menukar mata uang ada persyaratan bahwa dua mata uang yang dipertukarkan itu telah sama-sama diserahkan sebelum majelis transaksi bubar. Demikian juga tidak menyebabkan tertundanya penyerahan modal dalam transaksi salam karena dalam transaksi salam disyaratkan bahwa modal harus segera diserahkan.Tidak sah akad nikah dengan alat-alat tersebut (hp, internet dll) karena adanya saksi adalah syarat sah akad nikah.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dipahami bahwa keterangan dan penjelasan mengenai dasar hukum hingga persyaratan transaksi salam dalam hukum Islam, kalau dilihat secara sepintas mungkin mengarah pada ketidak dibolehkannya transaksi melalui via internet, disebabkan ketidak jelasan tempat dan tidak hadirnya kedua pihak yang terlibat dalam tempat.
Dengan melihat keterangan di atas, dijadikan sebagai pemula dan pembuka cenel keterlibatan hukum Islam terhadap permasalahan kontemporer. Karena dalam Al-Qur’an permasalahn transaksi online masih bersifat global, selanjutnya hanya mengarahkan pada peluncuran teks hadits yang dikolaborasikan dalam peramasalahan sekarang dengan menarik sebuah pengkiyasan. Sebagaimana ungkapan Abdullah bin Mas’ud : Bahwa apa yang telah dipandang baik oleh muslim maka baiklah dihadapan Allah, akan tetapi sebaliknya, dan yang paling penting adalah kejujuran, keadilan, dan kejelasan dengan memberikan data secara lengkap, dan tidak ada niatan untuk menipu atau merugikan orang lain.